FALSAFAH LANDASAN PANCASILA

Posted: November 15, 2013 in Uncategorized

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

  1. A.    Latar Belakang Masalah

Kenyataan hidup berbangsa dan bernegara bagi kita bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari sejarah masa lampau. Demikianlah halnya dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila sebagai dasar negaranya. Sejarah masa lalu dengan masa kini dan masa mendatang merupakan suatu rangkaian waktu yang berlanjut dan berkesinambungan. Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pnacasila sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi negara Pancasila. Bahkan pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya sebagai Dasar dan Filsafat Negara Republik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara.

Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat menelusuri sejarah kita di masa lalu dan coba untuk melihat tugas-tugas yang kita emban ke masa depan, yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya menghayati dan mengamalkan Pancasila. Sejarah di belakang telah dilalui dengan berbagai cobaan terhadap Pancasila, namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila yang berakar dia bumi Indonesia senantiasa mampu mengatasi percobaan nasional di masa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat pelajaran sangat berharga bahwa selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga belum kita amalkan secara semestinya.

Penghayatan adalah suatu proses batin yang sebelum dihayati memerlukan pengenalan dan pengertian tentang apa yang akan dihayati itu. Selanjutnya setelah meresap di dalam hati, maka pengamalannya akna terasa sebagai sesuatu yang keluar dari esadaran sendiri, akan terasa sebagai sesuatu yang menjadi bagian dan sekaligus tujuan hidup. Sementara itu, Pengamatan terhadap tugas-tugas sejarah yang kita emban ke masa depan yang penuh dengan segala kemungkinan itu, juga menyadarkan kita akan perlunya penghayatan dan pengamalan Pancasila.

 

  1. B.     Rumusan Masalah

Secara garis besar dalam makalah ini akan di angkat rumusan masalah yang sebagai berikut :

  1. Landasan pendidikan pancasila.
  2. Kedudukan dan fungsi pancasila.
  3. Pancasila sebagai jiwa, kepribadian, pandangan hidup dan dasar negara.

 

  1. C.    Tujuan Penulisan Makalah

Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini diperoleh manfaat yang sebagai berikut :

  1. Mengetahui apa saja yang menjadi landasan pendidikan pancasila.
  2. Mengetahui kedudukan dan fungsi pancasila.
  3. Mengetahui pancasila sebagai jiwa, kepribadian, serta pandangan hidup dan dasar negara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

  1. A.    Landasan Pendidikan Pancasila

1.1  Landasan Historis

Setiap bangsa memiliki ideologi dan pandangan hidup yang berbeda satu dengan yang lainnya, diambil dari nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam kehidupan bangsa yang bersangkutan. Demikianlah halnya dengan Pancasila yang merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia digali dari tradisi dan budaya yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sendiri seja kelahirannya dan berkembang menjadi bangsa yang besar seperti yang dialami oleh dua kerajaan besar tempo dulu yaitu Kedatuan Sriwijaya dan Keprabuan Majapahit.

Setelah berproses dalam rentang perjalanan sejarah yang panjang sampai kepada tahap pematangannya oleh para pendiri negara pada saat akan mendirikan negara Indonesia merdeka telah berhasil merancang dasar negara yang justru bersumber pada nilai-nilai yang telah tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang kemudian diformulasikan dan disistematisasikan dalam rancangan dasar negara yang diberi nama Pancasila. Nama tersebut untuk pertama kalinya diberikan oleh salah seorang penggagasnya yaitu Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 juni 1945 dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atas saran dan petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa.

Dengan demikian kiranya jelas pada kita bahwa secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari dan dengan nilai-nilai Pancasila serta telah melahirkan keyakinan demikian tinggi dari bangsa Indonesia terhadap kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia, sejak resmi disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sampai dengan saat ini dan Insya Allah untuk selama-lamanya.

 

1.2  Landasan Kultural

Pandangan hidup suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan bangsa yang bersangkutan. Bangsa yang tidak memiliki pandangan hidup adalah bangsa yang tidak memiliki jati diri (identitas) dan kepribadian, sehingga akan dengan mudah terombang-ambing dalam menjalani kehidupannya, terutama pada saat-saat menghadapi berbagai tantangan dan pengaruh baik yang datang dari luar maupun yang muncul dari dalam, lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia adalah jati diri dan kepribadian bangsa yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam budaya masyarakat Indonesia sendiri dengan memiliki sifat keterbukaan sehingga dapat mengadaptasikan dirinya dengan dan terhadap perkembangan zaman di samping memiliki dinamika internal secara selektif dalam proses adaptasi yang dilakukannya. Dengan demikian generasi penerus bangsa dapat memperkaya nilai-nilai Pancasila sesuai dengan tingkat perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapinya terutama dalam meraih keunggulan IPTEK tanpa kehilangan jati dirinya.

 

1.3  Landasan Yuridis

Alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan yuridis konstitusional antara lain di dalamnya terdapat rumusan dan susunan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara yang sah, benar dan otentik sebagai berikut :

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin olrh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Batang tubuh UUD 1945 pun merupakan landasan yuridis konstitusional karena dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dan rinci dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut.

 

1.4  Landasan Filosofis

Nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan sila-sila Pancasila secara filosofis dan obyektif merupakan filosofi bangsa Indonesia yang telah tumbuh, hidup dan berkembang jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya menjadi kewajiban moral segenap bangsa Indonesia untuk dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari baik kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai dasar filsafat negara, maka Pancasila harus menjadi sunber bagi setiap tindakan para penyelenggara negara dan menjiwai setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

  1. B.     Kedudukan dan Fungsi Pancasila
  2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME dalam perjuangan untuk mencapai ehidupan yang lebih sempurna senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya sebagai suatu pandangan hidup. Nilai-nilai luhur adalah merupakan suatu tolok ukur kebaikan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam hidup manusia.

Proses perumusan pandangan hidup masyarakat dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa yang disebut sebagai ideologi bangsa (nasional) dan selanjutnya pandangan hidup bangsa dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara yang disebut sebagai ideologi negara.

Transformasi pandangan hidup masyarakat menjadi pandangan hidup bangsa dan akhirnya menjadi pandangan dasar negara juga terjadi pada pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar negara dan ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat istiadat, budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan maniliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya, eonomi, hukum, hankam dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan sutau kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman.

  1. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional mengatur negar Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah serta pemerintahan negara.

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

  1. Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
  2. Meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945.
  3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis).
  4. Mengandung norma yang megharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara.
  5. Merupakan sumer semangat bagi UUD 1945, bagi penyelenggara negara, para pelaksana pemerintahan.

Sebagaimana telah ditentukan oleh pembentukan negara bahwa tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negar Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966.

  1. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil peranungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namu Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara dengan kata lain unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.

 

  1. C.    Pancasila Sebagai Jiwa, Kepribadian, Pandangan Hidup dan Dasar Negara

Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan menentukan arah serta cara bagaimana bangsa itu memecahkan persoalan-persoalan tadi. Tanpa memiliki pandangan hidup maka sesuatu bangsa akan merasa terus terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakat sendiri maupun persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula sesuatu bangsa akan membangun dirinya.

Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya, pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Karena itulah dalammelaksanakan pembangunan misalnya, kita tidak dapat begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan oleh bangsa lain, tanpa menyesuaikannya dengan pandangan hidup dan kebutuhan-keutuhan bangsa kita sendiri. Suatu corak pembangunan yang barangkali baik dan memuaskan bagi sesuatu bangsa, belum tentu baik atau memuaskan bagi bangsa yang lain.

Karena itulah pandangan hidup suatu bangsa merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian sesuatu bangsa. Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara kita. Di samping itu, maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat akar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencaai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya,maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

Negara Republik Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya melampaui dan menempuh berbagai jalan dengan gaya yang berbeda. Bangsa Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasila antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa datang, yang secara keseluruhan membentuk kepribadiannya sendiri, yang bersamaan dengan lahirnya Bangsa dan Negara itu, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara yaitu Pancasila.

Karena itu, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945; melainkan telah melalui proses panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, dengan melihat pengalaman-pengalaman bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan besar dunia, dengan tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan besar bangsa kita sendiri .

Karena Pancasila sudah menjadi pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam tiga buah Undang-Undang Dasar yang pernah kita miliki yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Mukadimah UUDS RI (1950) Pancasila itu tetap tercantum di dalamnya.

Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonesia sendiri merupakan :

  1. Dasar Negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.
  2. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita, serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
  3. Jiwa dan kepribadiaan bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia, dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, aserta merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain.
  4. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu nmasyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
  5. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.

Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini, maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang terlukis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan rumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita.

 

  1. D.    Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila

Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia serta merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita, yang telah dapat mengatasi percobaan dan ujian sejarah, sehingga kita meyakini sedalam-dalamnya akan keampuhan dan kesaktiannya.

Guna melestarikan keampuhan dan kesaktian Pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan terus-menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di pusat maupun daerah. Dan lebih dari itu, kita yakin bahwa Pancasila itulah yang dapat memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbing kita semua dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk itu Pancasila harus kita amalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila harus manusiawi, artinya merupakan pedoman yang memang mungkin dilaksanakan oleh manusia biasa. Agar Pancasila dapat diamalkan secara manusiawi, maka pedoman pengamalannya juga harusa bertolak dari kodrat manusia, khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya.

“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” dinamakan “Ekaprasetia Pancakarsa”. Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sansekerta. Secara harfiah “eka” berarti satu/tunggal, “prasetia” berarti janji/tekad, “panca” berarti lima dan “karsa” berarti kehendak yang kuat. Dengan demikian “Ekaprasetia Pancakarsa” berarti tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima Sila Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan tidak tergoyahkan lagi.

Ekaprasetia Pancakarsa memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan kelima Sila dari Pancasila sebagai berikut :

  1. 1.      Sila Ketuhanan yang Maha Esa
    1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
    2. Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
    3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
    4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepad orang lain.
    5. 2.      Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
      1. Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia.
      2. Saling mencintai sesama manusia.
      3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
      4. Tidak sewenang-wenang terhadap orang lain.
      5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
      6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
      7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
      8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
      9. 3.      Sila Persatuan Indonesia
        1. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
        2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
        3. Cinta tanah air dan bangsa.
        4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
        5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
        6. 4.      Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
          1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
          2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
          3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
          4. Musayawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
          5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
          6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
          7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
          8. 5.      Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
            1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yan mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
            2. Bersikap adil.
            3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
            4. Menghormatsi hak-hak orang lain.
            5. Suka memberi pertolongan terhadap orang lain.
            6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain..
            7. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
            8. Suka bekerja keras.
            9. Menghargai hasil karya orang lain.
            10. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

Kesimpulan

Sadar sedalam-dalamnya bahwa Pancasila adalah pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaaan masyarakat dan Negara Republik Indonesia, maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Oleh karena itu pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.

Dengan demikian Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia akan mempunyai arti nyata bagi manusia Indonesia dalam hubungannya dengan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Untuk itu perlu usaha yang sungguh-sungguh dan terus-menerus serta terpadu demi terlaksananya penghayatan dan pengamalan Pancasila.

Demikianlah manusia dan Bangsa Indonesia menjamin kelestarian dan kelangsungan hidup Negar Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, serta penuh gelora membangun masyarakat yang maju, sejahtera, adil dan makmur.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Dirjen Pendidikan Tinggi. 2002. Kapita Selekta Pendidikan Pancasila (untuk mahasiswa) Bagian I. Jakarta : Depdiknas.

 

Ismaun. 1997. Pendidikan Pancasila. Bandung : CV. Yulianti.

Kaelan. 1995. Hakikat Sila-Sila Pancasila dalam Ensiklopedia Pancasila Pariata. Yogyakarta : BPA.

Pilihan dalam melakoni sebuah usaha hanya dua, yaitu sukses atau gagal. Namun, untuk pengusaha yang tangguh, pilihannya menjadi sukses atau belum berhasil, karena mereka tidak mengenal kata gagal dalam kamus hidupnya. Tapi, sebatas semangat baja dan keyakinan saja tidak cukup mengantarkan kita kepada kesuksesan dalam berusaha. Pada bahasan kali ini kita ingin mengajak semua untuk sejenak mengoreksi kembali perjalanan usaha yang sudah berjalan hingga hari ini. Dan jika kita merasa hasil yang kita dapatkan belum maksimal atau belum sepadan dengan modal dan usaha yang kita lakukan, mungkin ada beberapa faktor yang terjadi seperti dibawah ini :

  1. Kemampuan Manajerial yang Tidak Handal

Menjalankan usaha atau bisnis tidak lepas dai peran pelakunya. Dalam hal ini kita sendri sebagai pemilik usaha. Dan sebagai pemilik usaha kemampuan manajerial mutlak harus kita kuasai. Karena dengan kemampuan tersebut kita bisa membuat strategi usaha yang baik, membuat rencana pengembangan, dan hal-hal lain yag berhubungan dengan fungsi manajerial untuk mengatasi hal ini, segera luangkan waktu kita untuk mengasah kemampuan seperti dengan mengkuti seminar, membaca buku, browsing di internet, atau pun berdiskusi dengan banyak orang. Banyak orang terjatuh bukan karena bodoh melainkan malas belajar.

  1. Kurang Menguasai Bidang Usaha yang Dilakoni

Jika kita mengalami hal ini, sama saja kita sedang menghambur-hamburkan modal usaha. Sebagai contoh, bagaimana outlet pulsa yang kita jalankan bisa maju jika kita sendiri tidak memahami apa saja produk pulsa yang bisa kita jual. Pemahaman bisnis atau bidang usaha yang diambil secara kontekstual sangat membantu arah, tujuan, misi, dan visi usaha.

  1. Pengelolaan Administrasi dan Keuangan yang Buruk

Pengelolaan administrasi dan keuangan yang buruk akan mempersulit majunya usaha. Pencatatan administrasi dan keuangan secara sembarang akan semakin memperburuk kondisi usaha karena tidak dapat membaca transaksi dan aktivitas yang telah terjadi. Pemasukan yang besar pun menjadi sia-sia tidak dikelola dengan baik. Jika pengelolaan ini tidak bisa dilakukan sendiri tidak ada salahnya meminta bantuan orang lain untuk melakukannya.

  1. Perencanaan yang Tidak Matang

Perencanaan menjadi faktor pertama dalam menentukan keberhasilan sebuah usaha. Tidak ada kesuksesan atau keberhasilan yang datang begitu saja. Semuanya berawal dari perencanaan yang matang. Tidak jarang perencanaan yang dibuat tidak berjalan karena yang kita buat adalah berdasarkan pengalaman orang lain tanpa disesuaikan dengan kondisi kita terlebih dahulu.

  1. Tempat Usaha Tidak Mendukung

Ada istilah tempat menentukan prestasi. Pernyataan tersebut benar adanya, apalagi hubungannya dengan dunia usaha atau bisnis. Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya tempat usaha yang kita miliki. Sebagai contoh, kita tentu tidak ingin mendirikan usaha dilokasi yang rawan kejahatan. Kita juga tidak ingin mendirikan usaha ditengah-tengah masyarakat yang daya belinya tidak sesuai dengan harga jual produk kita. Tempat usaha sebisa mungkin dipelajari dulu keunggualan dan kekurangannya seperti budaya, karakter, strata sosial, pendapatan, selera, keamanan dan faktor lainnya.

RETORIKA LOBI DAN JARINGAN

Posted: Maret 8, 2013 in Uncategorized

 

Retorika sebagai seni berbicara memang memiliki daya persuasi yang sangat tinggi, dengan menggunakan bahasa lisan yang indah (irama, mimik, dan intonasi suara).

Teknik Lobi merupakan kegiatan yang berupaya agar segala sesuatu berjalan tidak melalui kekuasaan melainkan melalui persuasi.

Lobi dapat terjadi :

  1. Antara dua orang, misalnya pada saat Ketua dan anggotanya memutuskan tanggal penyelesaian project yang harus diselesaikan oleh bawahan.
  2. Di dalam kelompok, misalnya untuk mengambil keputusan kelompok atas suatu kasus.
  3. Antar kelompok, misalnya bagian pembelian dengan pemasok dalam kesepakatan harga, kualitas atau tanggal penyerahan barang.

 

Pelobi yang baik :

  1.  Percaya diri
  2. Menghargai orang lain
  3. Menciptakan penampilan yang baik
  4. Dapat mengendalikan emosi
  5. Tidak merasa sempurna
  6. Ramah, sopan, simpatik & humor
  7. Berpikir positif
  8.  Sabar, ulet & tidak mudah putus asa
  9. Mencintai & memiliki profesi yang ditekuni

Persiapan Lobi :

Mempersiapkan bahan materi pembicaraan Menyusun tujuan sekaligus target yang akan dicapai Membuat janji Waktu pelaksanaan pertemuan. Dengan siapa Mengenal lebih jauh yang akan di lobby (kepribadian, hobby, sifat & karakter, dll) dari orang dekat). Kenal & akrab dengan orang dekatnya (Sekretaris, Ajudan, Rekan, dll). Persiapan penampilan (pakaian, sepatu, dasi, alat tulis, dll), sehingga menarik simpati & meyakinkan. Cheking seluruh persiapan.

Pelaksanaan Lobi

a)      Awali pembicaraan yang menyenangkan

b)      Uraikan secara jelas & singkat maksud dan tujuan

c)      Beri kesempatan untuk menanggapi

d)     Ikuti pembicaraan & ditanggapi dengan halus dengan menyanjung/pun memberikan usulan yang menarik

e)      Jika sudah menyangkut pokok persoalan dalam menanggapi langsung dipancing untuk mendukung/menyetujui keinginan kita sesuai dengan tujuan & target pembicaraan

f)       Akhiri dengan menyimpulkan & meningkatkan / mempertegas hasil pembicaraan pembicaraan

g)      Akhiri dengan kesan yang baik jika perlu tindak lanjut segera buat janji untuk pertemuan berikutnya

Setelah selesai pembicaraan jika ada sekretaris/ajudan/staf sampaikan terimakasih & diberitahu hal-hal yang sesuai dengan tugas mereka. Akhir Lobi…

SEJARAH PMII

Posted: Februari 13, 2013 in Uncategorized

ImageBukti sejarah telah menempatkan mahasiswa dan pemuda sebagai kelompok strategis untuk transformasi pembebasan sosial. Keberanian pemuda dan mahasiswa untuk perubahan Indonesia dimulai saat kolonialisme Belanda di Indonesia.

Desember 1955 IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) didirikan di Jakarta atas peloporan Wail Haris Sugianto. Di Surakarta beberapa mahasiswa NU yang dimotori Mustahal Ahad mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Berdirinya organ mahasiswa NU ingin menjawab pelitnya problematika bangsa. Yakni carut marut atmosfer perpolitikan bangsa Indonesia yang dipimpin Soekarno (1950-1959).

NU kemudian memisahkan diri dari Masyumi, mahasiswa NU juga meninggalkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) karena merasa tidak nyaman dengan organ tersebut. HMI dirasa lebih dekat dengan tindakan politik praktis Masyumi.

Mahasiswa yang berideologi ahlu sunnah wal jama’ah berkeinginan kuat mendririkan wadah sendiri untuk menyalurkan aspirasi dan mengembangkan potensi mereka. Tidak mengandalkan HMI atau organ kemahasiswaan lain. Nalar kritis mahasiswa NU semakin bergejolak melihat carut marut Indonesia sehingga ingin menjadi diri sendiri, berjuang demi perubahan mendasar Agama dan Bangsa Indonesia.

Namun awal berdirinya organ ekstra kemahasiswaan NU ini ditentang keras pimpinan pusat IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan Pengurus Besar NU. Awalnya IPNU baru berdiri 24 Februari 1954 di Semarang dan menganggap berdirinya IMANU dan KMNU sangat tergesa-gesa. Jumlah mahasiswa NU masih sedikit dan muncul kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan mengalahkan eksistensi IPNU.

Pada 1-5 Januari 1957 terjadi perdebatan hangat lagi tentang gagasan pembuatan wadah bagi mahasiswa NU dalam Muktamar IPNU ke-2 di Pekalongan. Gagasan mahasiswa NU mendirikan organuisasi sendiri kembali ditentang karena organisasi kemahasiswaan di tubuh NU hanya menjadi pesaing IPNU. Agar tidak terjadi perpecahan di tubuh kader NU, diambil langkah akomodatif dengan membentuk departemen perguruan tinggi (DPTIPNU) saat muktamar IPNU ke-3 di Cirebon dengan ketua DPT Ismail Makky (Mahasiswa senior fakultas syari’ah PTAI Yogyakarta).

Pada 14-16 April1960 dilaksanakan musyawaroh mahasiswa NU di sekolah Mu’amalat NU Wonokerto, Surabaya. Pesertanya perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, dan sejumlah perwakilan senat mahasiswa dari PT yang bernaung dibawah NU.

Musyawaroh mahasiswa NU membawa perdebatan panjang tentang nama organisasi. Mahasiswa Jakarta mengusulkan IMANU, Yogyakarta mngajukan nama Persatuan / Perhimpunan mahasiswa Ahlu Sunnah Wal Jama’ah atau perhimpunan mahasiswa sunni. Sedangkan Bandung dengan dukungan Surakarta mengusulkan PMII. Kemudian disepakati bersama dengan nama PMII. Namun, yang masih perdebatan adalah kepanjangan huruf “P” dalam PMII adalah Persatuan dan Perhimpunan. Kemudian memutuskan dengan kepanjangan “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” (PMII).

“P”, “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” sebagai bukti bahwa PMII bukan organisasi mahasiswa yang sekedar kumpul bareng (Himpunan), gerombolan grubyak-grubyuk yang tidak bermanfa’at. Himpunan atau Kumpulan adalah bentuk stagnasi (tidak dinamis) organ gerakan. “Pergerakan” merupakan cerminan mahasiswa yang selalu dinamis, progresif, setia berjuang demi perubahan, pemberontakan penindasan, dan ketidakadilan.

 

INDEPENDENSI PMII

Sebagai organ ekstra yang menyuarakan nilai idealisme merupakan keniscayaan PMII untuk independen, terlepas dari organisasi apapun. Karena gerakan adalah kemandirian dalam bersikap dan bertindak, tidak pro kekuasaan, dimana sebelumnya PMII masih menginduk di Partai NU. Kedekatan PMII dengan partai apapun sangat rawan konflik kepentingan, bahkan perpecahan yang menghancurkan nilai identitas kemahasiswaan di era orba.

Sehingga pada 14 Juli 1971 PMII merancangkan independen sebagai organ ekstra kemahasiswaan. Pernyataan itu diucap dalam musyawaroh besar (MUBES) PMII di Murnajati, Pandaan, Jawa Timur. Kemudian resmi PMII menyatakan independen dalam kongres V PMII 1973 di Cikota, Jawa Barat.langkah independen PMII sebagai langkah menciptakan iklim tertib dan aman demi perbaikan karena krisis moneter di era Soekarno. Independensi PMII ditempuh karena selama organ ekstra kemahasiswaan perhatiannya bnyak tercurah dan lelah tersita untuk mengurusi kepentingan politik parpol. Independensi untuk mengembalikan gerakan sosial kultural mahasiswa yang nyaris terabaikan. Juga sebagai upaya internalisasi dan sosialisasi asas ahlu sunnah wal jama’ah.

Walaupun PMII independen, namun tidak bisa dipisahkan dari NU. Karena secara ideologi yang ahlu sunnah wal jama’ah. Sehingga secara tegas, hubungan yang diambil PMII dengan NU adalah interdependensi (saling ketergantungan). Karena NU sekarang telah kembali sebagai jam’iyyah keagamaan bukan parpol lagi.

KE-ISLAM-AN

Posted: Februari 13, 2013 in Uncategorized

Image

Pada umumnya “Islam” dimengerti sebagai sebuah institusi agama dengan sekian ritual keagamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya. Pengertian semacam ini, Islam sebagai sebuah institusi agama (organized religion) sebagaimana yang difahami oleh banyak orang, mengakibatkan makna Islam menjadi sangat eksklusif dan menutup ruang bagi institusi agama lain untuk memproklamirkan kebenaran agamanya dan ikut serta dalam kehidupan sosial-masyarakat. Bahkan bagi sebagian pemeluknya ada anggapan bahwa seseorang yang berada di luar institusi agama tertentu dianggap “musuh” dan “sesat”, karenanya harus diperangi dan diselamatkan.

Padahal kalau kita melacak makna Islam yang terkandung dalam kitab suci Al Qur’an akan kita dapatkan makna yang lebih universal dan membuka ruang bagi bertemunya agama-agama (comment platform) serta kemungkinan dialog antar agama. Hal ini penting untuk menyatukan visi kemanusiaan dan keadilan sebagai upaya transformasi sosial.

Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai kata Islam yang menurut Djajaningrat berasal dari kata kerja aslama “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Dalam pengertian ini kata Islam harus dibedakan antara Islam sebagai sikap jiwa seseorang dan Islam sebagai nama sebuah agama. Surat Al Baqoroh : 112, Jinn: 14, Ali Imran:19 dan Al Maidah : 3 menegaskan arti tersebut.

Terkait dengan pengertian Islam sebagai sikap jiwa seseorang, pemaknaan Islam yang lebih umum, menurut kata generiknya adalah pasrah, tunduk kepada Tuhan, yaitu suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar. Dasar semacam inilah sebagaimana pandangan Al Qur’an bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan.

Kata yang dekat dengan makna Islam adalah kata hanif yaitu condong atau cenderung. Islam dalam pengertian hanif inilah yang dianut dan mempunyai tali persambungan dengan ajaran nabi Ibrahim AS. Sedangkan Ibrahim sendiri tidak pernah mendakwahkan dirinya sebagai seseorang yang memeluk agama formal baik Yahudi atau Nashrani. Ibrahim adalah seorang nabi yang tunduk dan patuh kepada Tuhan karenanya dia disebut ”ber-Islam”.

Dengan demikian sikap pasrah dan tunduk adalah inti dari semua ajaran Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi. Hal ini menegaskan adanya titik temu agama-agama, meskipun nabi dan masa mereka berbeda-beda. Sebab semua yang benar itu berasal dari sumber yang sama dan semua para nabi membawa kebenaran ajaran yang sama. Perbedaan para nabi hanyalah dalam bentuk responsi khusus tugas seorang rasul pada tuntutan zamannya.

 

ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL

Manusia sebagai hamba Allah SWT, diciptakan dengan maksud untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Penghambaan penuh atas nilai absolut Tuhan Yang Maha Esa juga atas ekosistem dan alam jagat raya, selain itu manusia diwajibkan untuk melakukan komunikasi dan bersosialisasi dengan sesamanya dalam rangka untuk saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah atas kemungkaran.

Tugas berat yang diberikan untuk manusia tidak semata selesai di dunia saja, akan tetapi orientasi yang lebih tinggi adalah bagaimana manusia bisa hidup bahagia di akhirat kelak. Islam dalam konteks ini adalah sebagi penyelamat. Kepasrahan secara total atas ke-Maha Esa-an Tuhan pencipta alam semesta menjadi hal yang mutlak. Sebagai agama yang diturunkan untuk penyempurna atas agama-agama sebelumnya, Islam diharapkan bisa menjadi rambu dan pedoman bagi umat manusia dalam menjaga tatanan kehidupan di dunia ini sebagai bekal di akherat (al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih).

Keberadaan Islam pada konteks masa Nabi Muhammad adalah sebagai seruan moral dalam memberantas kaum jahiliyah yang tidak lagi memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan besar agama Islam adalah menegakkan bagaimana agama Islam bukan hanya dimaknai sebagai ritualitas penghambaan an sich. Tauhid sebagai bentuk kepercayaan penuh atas Allah SWT baik dalam hati, lisan maupun tindakan. Tauhid selain itu sebagaimana yang dipaparkan Hasan Hanafi bahwa tauhid bagi umat manusia ini memiliki kesamaan status. 

Kesamaan status inilah yang seharusnya diperhatikan oleh umat manusia sehingga dalam realitas kehidupan bermasyarakat tidak ada saling tindas menindas. Suprioritas dan pengunggulan diri berarti sama dengan menolak kesamaan status sebagai hamba Allah. Islam sebagai agama yang memiliki nilai dalam menata dan menjadi rambu dalam umat manusia seharusnya tidak dijadikan landasan dalam melakukan perubahan di dunia. Memaknai Islam lebih dari konsteks untuk menyelesaikan sosial problem selain personal problem menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dalam membangun kerukunan umat beragama, menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan, jadi Islam bukan semata untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dengan melalaikan persoalan masyarakat, selain itu umat Islam juga seharusnya lebih memperhatikan kehancuran ekosistem (ekologi) sebagai implikasi dari kekuatan kapitalisme dalam melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam. Mengembalikan kembali nilai-nilai Islam dalam corak dialektika material. Disamping itu membangun kembali sensitifitas sosial dengan lebih mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan pada realitas nyata.

Dengan pemaparan diatas, melihat konteks Islam di Indonesia, maka corak dan karakter Islam Indonesia bukan Islam ala Arab, Pakistan dll. Islam sebagi agama rohmatan lil ‘alamin mengidealkan satu corak nilai Islam nusantara, sehingga antara nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Islam tidak terjadi saling sandra, namun memberi warna tersendiri.

SEJARAH IDEOLOGI DUNIA

Posted: Februari 12, 2013 in Uncategorized

Image

Awalnya, istilah “ideologi” dimaksudkan oleh penciptanya. Destrut de Tracy (1796) dkk, sebagai “Ilmu ide” yang diharapkan mampu membawa perubahan institusional, mulai dari pembaharuan menyeluruh atas sekolah-sekolah di prancis. Tracy memberikan definisi ideologi adalah suatu sistem ide, yang mencoba melepaskan diri dari hal-hal metafisis. Para ideolog untuk kurun waktu tertentu menikmati posisi pembuat kebijakan dalam kelas II (ilmu-ilmu moral dan politik) di Institut nasional.

Tetapi pertentangan dengan napoleon, menyebabkan Napoleon Banaparte (penuh mistik) berusaha untuk menghapus usaha pembaharuan dalam institut (1802-1803). Ia memecat anggota-anggotanya sebagai tukang khayal tak berguna dan membuat mereka sebagai bahan cemoohan. Ideologi juga bisa diartikan sebagai seperangkat sistem dan tata nilai dari berbagai kesepakatan-kesepakatan, yang harus ditaati dalam sebuah kelompok sosial. Ideologi adalah motivasi bagi praksis sosial yang memberikan pembenaran dan mendorong suatu tindakan. Ideologi mendorong untuk menunjukkan bahwa kelompok sosial yang diyakininya mempunyai alasan untuk ada.

Dalam sejarah pertarungan sosial dan politik dunia, ideologi juga tidak jarang banyak mengorbankan ribuan bahkan jutaan nyawa demi sebuah perjuangan membela ideologi. Apalagi kalau ideologi sudah masuk pada ranah politik dan kekuasaan. Demi sebuah ideologi, 600.000 orang tewas karena terlibat (atau tertuduh) sebagai PKI dalam aksi “balas dendam” yang legal sehabis tragedi 30 September 1965 di Indonesia. Kemunculan tiga arus besar ideologi dunia (baca: kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan fasisme) serta perkembangan dahsyat gerakan sosial dan ilmu pengetahuan yang diikuti oleh munculnya teori-teori baru beserta prediksi-prediksi ilmiah mau tidak mau menyeret wacana ideologi dalam perbincangan hangat di kalangan kaum intelektual.

Tapi menjadi agak mustahil membincangkan ideologi dalam kerangka konseptualnya tanpa memahami lebih dahulu bagaimana sejarah yang telah menyusunnya. Dengan pelan-pelan meski sangat sederhana, mari kita membuka catatan-catan sejarah itu.

 

  1. A.    KAPITALISME

Karl Marx membagi perkembangan umat manusia dalam analisis prediktifnya dari mulai masyarakat Primitif/Tradisional ke Feodal ke Kapitalis ke Sosialis/Komunis. Akan tetapi dalam gerak laju sejarahnya, ternyata analisisnya Karl Marx meleset. Hingga hari ini ternyata kemenangan dari semua ideologi dunia adalah Kapitalisme Liberal (Baca: Francis Fukuyama). Awal munculnya kapitalisme, yang fenomena historisnya ditemukan oleh Karl Marx kemudian menjadi sebuah sistem dunia, dapat dilacak dari terjadinya transisi historis zaman feodalisme. 

Tepatnya pada akhir abad XIV awal abad XV ketika orang-orang Eropa berhasil mengatasi persoalan hambatan geografis. Solusi dari hambatan geografis diatas berawal dari ditemukannya kompas sebagai penunjuk arah dan berkembangnya pengetahuan kelautan. kolaborasi dari dua penemuan baru tersebut membuat watak ekspansionis bangsa Eropa menemukan momentum dan ruang geraknya. Sejak saat itulah penaklukan dunia yang fenomena historisnya berbentuk imperialisme-kolonialisme di berbagai belahan dunia oleh bangsa Eropa dimulai. 

Bangsa Eropa datang kebeberapa benua dunia diantaranya benua Amerika, Afrika, Asia sebagai penakluk untuk mengeruk kekayaan alamnya, memperbudak penduduk asalnya sekaligus mengumumkan pengukuhan dirinya sebagai ras yang paling unggul dari ras dan bangsa-bangsa lain. Ajarannya adalah manusia berbudaya adalah orang-orang kulit putih dari Eropa, sedangkan diluar orang-orang berkulit putih Eropa adalah manusia-manusia barbar yang biadab.
Sejak saat itu pula hierarkhis-dikotomis kebudayaan mulai ditancapkan dalam benak manusia dunia. bahwa hanya orang kulit putihlah yang paling unggul dan harus ditiru, yang dikemudian waktu klaim ini membuat motivasi tersendiri bagi mereka untuk melakukan praktek imperialisme-kolonialisme tidak hanya terbatas dalam ruang ekonomi-politik, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah penjajahan cultur dan kebudayaan masyarakat terjajah untuk diseragamkan dengan budaya orang kulit putih. Atas dasar itulah, tidak salah kalau dikatakan bahwa munculnya kapitalisme sebagai suatu sistem dunia pararel atau beriringan dengan dimulainya praktek imperialisme-kolonialisme jagad raya. Dan dari imperialisme-kolonialisme inilah akumulasi modal mulai terkonsentrasi di berbagai belahan wilayah Eropa, terutama di Inggris.

Dudly Dillard, secara kronologis membagi sejarah muncul dan perkembangan kapitalisme, terutama kapitalisme industrial, menjadi tiga fase perkembangan, yakni kapitalisme fase awal ( 1500-1750), kapitalisme fase klasik ( 1750-1914) dan kapitalisme fase lanjut (1914-1945). Memang harus diakui bahwa tidak ada kesepakatan oleh para ahli mengenai definisi kapitalisme, akan tetapi mereka umumnya sepakat bahwa kapitalisme adalah satu sistem ekonomi yang berlandaskan pada filsafat individualisme-liberalisme yang memiliki implikasi kebebasan manusia untuk mengekploitasi apapun yang dapat menguntungkan individu tersebut.

Pertama, Kapitalisme Awal atau Kapitalisme Merkantilismes (1500-1750), yaitu kapitalisme yang bertumpu pada industri sandang di Inggris. Kapitalisme pada masa ini masih sangat sederhana. yaitu ditandai dengan praktek permintalan benang yang masih mengunakan masinal (mechine) sederhana. Sementara kebutuhan produksi disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pada abad XVI industri sandang dibeberapa pedesaan di Inggris mengalami perkembangan produksi yang sangat pesat. Pemasukan keuangan negara yang pada awalnya hanya berasal dari pajak rakyat mulai bertambah dengan pendayagunaan surplus sosial (semacam tabungan sosial dari beberapa pabrik sandang).

Dari pemakaian sistem inilah, kapitalisme semakin menempati posisi yang aman dari kontestasinya dengan sistem ekonomi sebelumnya. Kalau pada sistem ekonomi yang diterapkan sebelum sistem kapitalisme, dana surplus sosial selalu digunakan untuk membuat tanda-tanda kejayaan suatu masa dengan membangun piramida-piramida atau katedral-katedral sebagai lambang kemegahan dan kejayaannya, maka ketika sistem kapitalis ini dipakai, dana yang awalnya dipakai untuk hal-hal diatas dialihkan untuk membuat infrastruktur dan supra struktur baru dalam bidang ekonomi seperti membangun usaha perkapalan, pergudangan, persiapan dan penyediaanbahan-bahan mentah, dan berbagai bentuk penanaman modal lainnya. dengan demikian, surplus sosial yang pada awalnya selalu habis bahkan defisit, berubah menjadi perluasan kapasitas produksi.

Ada sekian banyak momentum penting yang membuka peluang perkembangan kapitalisme menjadi semakin tak terbendung. mulusnya perkembangan kapitalisme di atas tidak bisa dilepaskan dari beberapa momentum-momentum penting yang menjadikan perkembanagn kapitalisme berjalan mulus antara lain, Pertama, munculnya gerakan perlawanan (protestanisme) dari kaum calvinis yang dipimpin oleh Marlin Luther King terhadap hegemoni doktrin gereja katolik mengenai kehidupan didunia. Kedua, penemuan logam-logam mulia dari dunia baru (koloni) untuk kemudian dipakai sebagai alat transaksi yang distandarisasi. dan terakhir adalah kuatnya back up dari kekuasaan saat itu. dari sinilah kemudian, perkembangan kapitalisme seakan tidak mengalami hambatan yang berarti.

Kedua, adalah Kapitalisme Fase Klasik (1750-1914). Fase ini ditandai dengan bergesernya sistem pembangunan kapitalisme dari sistem perdagangan (merkantilisme) ke sistem industri, tepatnya ketika terjadi revolusi industri di Inggris yang kemudian menjadikan masa ini sebagai masa transisi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri. Perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh perkembangan baru dalam keilmuan manajemen-organisasi dan penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi. dengan latarbelakang diatas itulah, laju kapitalisme semakin tidak terbendung karena sistem produksi yang pada masa kapitalisme awal hanya ditopang oleh infra struktur dan supra struktur yang sederhana, maka pada fase ini sudah mulai memakai sistem modern dengan didukung oleh industri yang berbasis tekhnologi maju.

Dalam bidang pemikiran, pada saat yang sama muncul seorang ekonom Inggris, Adam Smith dengan karyanya Inquiry into the nature and causes of the wealth nations (1776). Dalam buku tersebut, Adam Smith menawarkan satu sistem ekonomi yang akan membawa kesejahteraan masyarakat eropa saat itu yakni sistem ekonomi liberal. Doktrin utama dari sistem ini adalah menyerahkan semua keputusan-keputusan ekonomi kepada pasar dengan membongkar atau bahkan menghilangkan peran negara sedikitpun. Kebijakan ini mulai dilajankan setelah revolusi Prancis dan perang napoleon sebagai masa hancur-totalnya sisa-sisa sistem feodal. Turunan dari doktrin diatas termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan, perdagangan bebas, standarisasi keuangan yang kuat (dengan emas), pembuatan anggaran belanja yang seimbang, penghapusan subsidi sosial dll. Singkatnya, sistem ini memulangkan segala persoalan kepada masing-masing individu dan interaksi yang tidak diatur akan menghasilkan akibat-akibat sosial yang dicita-citakan.

Begitulah kapitalisme liberal terus berjalan sampai mengalami berbagai pertentangan internal (anomali) antar negara kapitalis itu sendiri yang kemudian mengakibatkan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914-1918 antara kekuatan negara kapitalis baru (Jerman, Jepang dan perancis) dengan negara bos kapitalis Inggris. Akibat dari Perang Dunia I tersebut adalah perubahan besar mengenai pembagian koloni-koloni tanah jajahan yang menguntungkan negara yang menang perang.

Ketiga, Fase Kapitalisme Lanjut (1914-1945). Fase ini ditandai dengan peristiwa bergesernya dominasi modal dari belahan dunia Eropa ke negara adi daya baru Amerika Serikat yang dilatarbelakangi oleh hancurnya sistem ekonomi Eropa akibat perang yang berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya krisis besar-besaran dihampir negara kapitalis Eropa, terutama Inggris yang pada awalnya sebagai negara kapitalis Eropa terkaya. selain itu ada tiga momentum besar di dunia internasional saat itu, yakni terjadinya perang dunia pertama, munculnya perlawanan dari dunia terjajah (Asia-Afrika) terhadap praktik imperialisme kolonialisme yang telah berjalan cukup lama, dan suksesnya revolusi Bolsevik 1917 di Rusia yang menghancurkan sistem feodalisme kaesar Tsar saat itu. Dari ketiga momentum inilah beberapa negara kapitalis Eropa dan Amerika mengalami greet depression atau depresi ekonomi dunia besar-besaran.

Dari kejadian itulah dunia mengalami resesi ekonomi, harga-harga saham wall street jatuh pada harga yang terendah dalam sejarah dan meningkatnya jumlah penganguran secara drastis. Dari peristiwa diatas, negara-negara kapitalis saat itu mulai merubah kebijakan ekonominya dari sistem liberalis yang tidak memberikan ruang jaminan sosial sedikitpun kepada masyarakat pada sistem ekonomi negara kesejahteraan (walfare state).

Sebenarnya perubahan sistem kapitalisme saat itu bukan hanya sekedar memberikan hak-hak rakyat yang selama ini terampas oleh keserakahan kaum kapitalis sebagaimana alasan diatas, akan tetapi lebih mendasar dari itu adalah kapitalisme saat itu ingin menyelamatkan dirinya sekaligus merancang sistem ekonomi kapitalis yang lebih kuat–yang fenomena historisnya kita temukan pada akhir dekade 1970-an atau yang lebih dikenal dengan istilah kapitalisme neo-liberal–dari ancaman fenomena sosial baru (kegandrungan kepada sistem sosialialis) setelah suksesnya revolusi bolisevik di Rusia. Tawaran paket menarik yang berupa sistem dan jaminan kesejahteraan sosial dari negara-negara kapitalis Eropa dan AS saat itu antara lain program redistribusi kekayaan, penyediaan fasilitas umum, subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan perawatan pribadi diluncurkan.

Pada periode inilah dimulai kembalinya peran negara yang tidak hanya sebagai penjamin kesejahteraan pasca perang, akan tetapi lebih dari itu negara dituntut untuk menjadi pemain kunci dalam perekonomian global. Dari doktrin itulah nasionalisasi besar-besaran terhadap aset-aset industri diterapkan. tawaran sistem baru ini dilounching oleh John Maynard Keynes, seorang  pemikir ekonomi besar dari Inggris. tepatnya pada dekade 1930-an. Keynes meyakini persoalan resesi ekonomi dunia dapat diselesaikan kalau pemerentah melakukan intervensi terhadap perekonomian untuk menciptakan kondisi full employment sebagai suatu yang secara ialmiah tidak dimiliki oleh pasar. model kebijakan yang seperti inilah kemudian ngetrend dalam sistem ekonomi dunia yang tidak hanya diterapkan oleh negara-negara kapitalis akan tetapi juga negara-negara berkembang yang baru merdeka. karena negara dipercaya mampu memecahkan kontradiksi pasar dan sebagai aktor yang mampu mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan ekonomi.

Wacana dan praktek sistem walfare state hanya berjalan sampai pada dekade 1970-an akhir awal 1980-an ketika kapitalisme internasional mengalami resesi ekonomi dunia kedua kalinya. Munculnya aliran Kapitalisme Neo-Liberal atau kanan baru (1979- Now) merupakan tawaran solusi dari sistem walfare state yang mengalami kontradiksi pasar diatas. Adalah Friedrich Van Hayek, seorang profesor di Universitas Chicago sejak 1940-an, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Milton Friedman di universitas yang sama. menawarkan solusi kembali pada sistem ekonomi neo-klasik. dari sinilah embrio dari neo liberalism. Wacana neo-liberal dalam sistem ekonomi kapitalisme pada masa ini menyebar dengan cepat. Keberhasilan mereka mengembangkan gagasan neo-liberalism dalam sisitem ekonomi didukung oleh kuatnya jaringan internasional yang melibatkan berbagai yayasan, institut, pusat penelitian, penerbitan, ilmuwan, penulis, dan ahli ilmu hubngan masyarakat membuat gagsan tyersebut cepat meneyebar dan menjadi begitu populer sampai menjadi kultural hegemoni yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kanan baru. Awal pertama kali praktek kebijakan neo-liberalism dalam sistem ekonomi internasional terjadi pada tahun 1979, ketika Margareth Thatcher menjadi perdana menteri Inggris.

Di Eropa aliran di atas ,diimplementasikan untuk pertama kalinya oleh PM. Margaret Thatcher. kebijakan pertama yang diambil setelah menduduki posisi PM Inggris adalah penghapusan kewajiban negara untuk memikul tanggungjawab terhadap rakyatnya yang berupa subsidi negara terhadap rakyat. dan memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial. Sebagai gantinya pemerintah lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran , telekomunikasi, transportasi, dan membabad habis seluruh serikat buruh.

Di Amerika, pada saat yang sama kaum republiken memenangkan pemilunya yang kemudian menaikkan Ronald Reagen sebagai Presiden AS menggantikan Jimmy Carter. pada saat inilah pengadopsian neo-liberalisme di Amerika sebagai sistem ekonomi mulai diterapkan. rezim ini sangat meyakini teori-trickle down effect yang mengklaim bahwa si kaya mendapatkan insentif seperti membayar pajak murah/rendah, maka mereka akan lebih giat dalam berwirawasta dan pada gilirannya mereka akan banyak menciptakan pertumbuhan peluang dan lowongan kerja. sederhanya, jika industri diserahkan ke Swasta maka akan lebih efisien dan menekan pengeluaran pemerintah untuk pembayaran tunjangan sosial.

Dengan bekal teori di atas Reagen melakukan deregulasi ekonomi yang telah dirintis oleh Carter tahun 70-an. Kontrol atas harga minyak dicabut, aturan mengenai transportasi kereta api, industri minyak dan gas serta penyiaran diperlonggar. dengan mengikuti langkah Tathcher, Reagen membatasi kekuatan serikat buruh. setelah itu, gelombang neo-liberalisme segera menyebar ke hampir seluruh dunia yang meliputi: amerika latin, asia timur, India, sampai hampir seluruh negara Afrika. negara yang memulai pertama kali setelah Inggris dan Amerika adalah negara-negara dominion Inggris seperti Australia, pada Paul keating, Kanada, New Zeeland, Chili, Argentina, Brazil, jerman, Itali, Prancis, hingga Zambia dan Tanzania.

Kuatnya daya dorong kapitalisme ini membuat partai-partai yang pada awalnya memiliki platform politik yang lebih dekat ke kiri secara perlahan beralih ke kanan.disinilah dapat disebut pemerintahan toni Blair dari Inggris, Schroder dari Jerman, Lionel Jospin dari Prancis yang pada awalnya ketiganya berasal dari partai buruh. tetapi kebihjakannya menganut sistem ekonomi neo liberal yang kanan. Demikianlah perjalanan sejarah kapitalisme dari awal sampai akhir.

Kalau kita perhatikan dari awal masa perkembangannya kapitalisme memiliki identifikasi yang khas :

  1. Sistem ekonomi kapitalisme mentasbihkan kebebasan individu untuk melihat alat-alat produksi dan modal, bukan oleh negara atau yang disebut dengan Hak Individu (individual ownwrship).
  2. Ekonomi Pasar (market economy) pereknomian pasar berdasar pada prinsip spesialisasi kerja dan hal itu tidak diatur oleh siapapun kecuali kondisi pasar itu sendiri.
  3. Persaingan (competition) sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya ekonomi pasar.
  4. Keuntungan (profit) prinsip keuntungan.

 

  1. B.     SOSIALISME-KOMUNISME

Pada awalnya, sosialisme dan komunisme mempunyai arti yang sama, tetapi akhirnya komunisme lebih dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam sosialisme, diantaranya dengan mewujudkan protes dan penolakan terhadap ketimpangan sosial. Dalam jaman renaissance dan Reformasi muncul protes terhadap ketimpangan dalam kemakmuran, dalam revolusi kaum puritan di abad 17 di Inggris, berbarengan dengan gerakan utama yang berasal dari kaum menengah, tampil sebuah kelompok radikal yang disebut “para penggali” atau para “pemerata sejati” (true leveres). Mereka berjuang untuk mempraktekkan prinsip pemilikan tanah secara komunal dan bukan menyangkut penggunaanya.

Unsur lain yang terdapat dalam sosialisme yaitu, protes terhadap prinsip Cash nexus bahwa uang merupakan ikatan utama antar manusia tidak terbatas pada tradisi sosial saja. Sejauh sosialisme mengandung dalam dirinya unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sosialisme sudah setua peradaban barat. Pemikiran Yunani maupun Yahudi-Kristen masing-masing menolak kekayaan sebagai landasan kehidupan yang bahagia.

Tetapi kalau kita melihat sesuatu yang lebih konkrit dalam sejarah, akan ditemukan bahwa sosialisme sebagai gerakan yang efektif dan terorganisir merupakan produk dari revolusi industri di Inggris. Pada tahun 1820-an dan 1830-an di Inggris dan Prancis muncul teori sosialisme modern, teori yang memusatkan perhatian untuk membebaskan kelas pekerja industri dari belenggu kapitalisme industri, perubahan dalam organisasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi inii mengakibatkan munculnya kesenjangan kelas buruh dan pemodal yang dalam bahasa Marx disebut sebagai proletar dan borjuis, dan kondisi-kondisi lainnya sehubungan dengan jam kerja buruh, kesehatan kerusakan lingkungan.

Sosialisme sebagai koreksi total terhadap gejala akses negatif yang ditimbulkan oleh pertentangan kelas buruh dengan kelas borjuasi. Dalam scenario yang disusun Marx dan sahabatnya, Engels yang akhirnya menjadi kitab suci bagi penganut sosialis-komunis dunia. Das Capital (1867) banyak menginspirasikan gerakan buruh diseluruh dunia. Dikesempatan itulah kaum buruh akan merebut posisi sebagai pemegang alat produksi.

 

  1. C.    FASISME

Pasca perang Dunia I di Italia, sejarah kekuatan Bento Mussolini mula-mula mengenalkan fasisme dengan gerakan revolusionernya, gerakan bersenjata sebagai jalan untuk menuju tampuk kekuasaan, disusul kemudian oleh “saudaranya”, Adolf Hitler muda yang menjadi roh fasisme jerman. Di tangan keduanya lah fasisme muncul sebagai paham sekaligus gerakan. Fasisme, sebagai ideologi yang dianut sebuah negara, memuat cirri-ciri sebagai gerakan ideologi yang Totaliter, Nasionalis-Rasialis, dan mengidolasi pemimpinnya.

Setiap negara yang fasis adalah negara totaliter, yang berkuasa habis-habisan atas semua gerak hidup masayarakat di dalamnya. Sistem totaliter telah mengatur sedemikian rupa bagaimana rakyat harus sekolah, bekerja, melakukan aktifitas ekonomi, mengeluarkan pendapatbahkan dalam berkeluarga dan punya anak. Semuanya masu dalam bingkai yang telah ditentukan negara. Sebagaimana orasi yang pernah disampaikan Hitler pada rally-rally kaum Nazi, “kamu bukanlah apa-apa, negaramu adalah segalanya”.

Suasana pasca Perang dunia I, dimana Jerman dan Italia mengalami kebangkrutan harga diri dan ekonomi. Jerman setelah menerima kekalahan dalam perang, terutama dalam perjanjian Versailles, telah memaksanya membayar perbaikan-perbaikan untuk kerugian pemenag, sementara itu dalam waktu yang sama, sebagai akibat perang Italia harus menanggung hutang sekitar 95 Juta Lira diwilayah ini kemudian Munculnya Hitler dan Mussolini bagaikan air sejuk di siang yang panas, yang melakukan uasaha-usaha untuk meyakinkan rakyat bahwa kejayaan negara kota Troya di Italia ataupun ras Aria di Jerman mampu memompa kelesuan rakyat. Dalam konteks ini Nasionalisme sarat dengan Rasialisme. Implikasi paling nyata dan mengerikan terbunuhnya 6 juta orang Yahudi dari kamp penampungan dalam kampenya anti semitis yang dikobarkan Hitler.

Baik Hitler maupun Mussolini adalah diktator “di negaranya” masing-masing. Bukan saja karena mereka punya kharisma dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa dimata rakyatnya, tapi juga karena kaum fasis percaya bahwa kediktatoran harus ditempuh jika ingin membentuk negara yang kuat.

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF

Posted: Februari 12, 2013 in Uncategorized

Image

Apakah Paradigma itu ? Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).  Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma :

  1. Paradigma metafisik, yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
  2. Paradigma Sosiologi, yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
  3. Paradigma Konstraksebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dan lain-lain.

Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan. Apakah yang disebut Teori kritis ?Apa sebenarnya makna “Kritis”?Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam.

Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).

Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Pada intinya madzhabFrankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori  kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift  tahun 1957 oleh Horkheimer.

Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :§   Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi;§   Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi;§   Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo;§   Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.  Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :

  1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);
  2. Berpikir empiris-historis; 
  3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;
  4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud :

  1. Kritik dalam pengertian Kantian

Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan“condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.

  1. Kritik dalam pengertian Hegelian

Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir.  Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.

  1. Kritik dalam pengertian Marxian

Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

  1. Kritik dalam pengertian Freudian

Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan  analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :

  1. Bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
  2. Berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
  3. Tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

Paradigma Kritis : Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial : William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma :

  1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)

Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan.

Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut :

  1. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)

Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan-    Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner-   Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan(vicious circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan.

  1. Plural Paradigm (Paradigma plural)

Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.

 

Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.

Apabila  disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada :

  1. Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
  2. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
  3. Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
  4. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
  5. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

Kritis dan Transformatif namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis.

Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat.

Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :

  1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme

Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.

  1. Transformasi dari Negara ke Masyarakat

Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.

  1. Transformasi dari Struktur ke Kultur

Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.

  1. Transformasi dari Individu ke Massa

Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia.

Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).  Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII ? Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.

Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan.  Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun. 

 

 

MENGAPA PMII MEMILIH PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF ?

“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. 

Alasan-alasan tersebut adalah :

  1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.
  2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
  3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).
  4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.

Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner). PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah :

Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.

NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP)

Posted: Februari 12, 2013 in Uncategorized

ImageNILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN

 

  1. 1.      Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi
  2. Pengertian

Nilai-nilai dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah basis filosofis dari setiap aktifitas berpikir, berucap dan bertindak, yang mencerminkan tujuan bersama yang hendak dicapai. Nilai-nilai itu merupakan manifestasi pemahaman Aswaja sebagai manhaj al-fikr dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i dalam proses dialektika sejarah global dan ke-Indonesia-an.

  1. Kedudukan

Nilai-nilai Dasar PMII berkedudukan sebagai :

  • Sumber ideal moral
  • Pusat argumentasi dan pengikat kebebasan berpikir, berucap, dan bertindak.
  1.  Fungsi

Nilai-nilai Dasar PMII berfungsi sebagai kerangka ideologis yang pemaknaannya adalah :

  • Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas.
  • Pola pikir, pola sikap, pola hubungan, dan pola integrasi dalam perspektif gerakan.
  1. 2.      Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII

Mukaddimah

Tauhid (keyakinan transendental) merupakan sumber nilai yang mencakup pola hubungan antara manusia dengan Allah (hablun min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas), dan hubungan manusia dengan alam (hablun min al-‘alam). Pergerakan meyakini dengan penuh sadar bahwa menyeimbangkan ketiga pola hubungan itu merupakan totalitas keIslaman yang landasannya adalah wahyu Tuhan dalam al-quran dan hadits Nabi. Dalam memahami dan mewujudkan keyakinan itu PMII telah memilih Ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) sebagai manhajul fikr dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i.

Selain itu sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia, PMII menyadari bahwa Pancasila adalah falsafah hidup bangsa, yang penghayatan dan pengamalannya seiring dengan implementasi dari nilai-nilai aswaja: tawassuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul. Karena itu, dengan menyadari watak intelektual dan kesadaran akan tanggung jawab masa depan bersama, dan dengan memohon rahmat dan ridla Allah SWT., maka disusunlah rumusan Nilai-nilai Dasar PMII sebagai berikut :

RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PMII :

  1. Hablun min Allah (Hubungan manusia dengan Allah)

Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia dalam sebaik-baik bentuk dan memberikan kedudukan terhormat kepadanya di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya cipta, rasa, dan karsa. Potensi inilah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai hamba (‘abd) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl).

Sebagai hamba, manusia memiliki tugas utama mengabdi dan menyembah Tuhan (Q.S. al-Dzariat: 56), mengesakan Tuhan dan hanya bergantung kepada-Nya, tidak menyekutukan dan menyerupakannya dengan makhluk yang memiliki anak dan orang tua (Q.S. al-Ikhlash: 1-4). Sebagai hamba manusia juga harus mengikhlaskan semua ibadah dan amalnya hanya untuk Allah (Q.S. Shad: 82-83).

Sebagai khalifah, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memakmurkan bumi bukan malah merusaknya (Q.S. al-Baqarah: 30). Karena, kedudukan ini merupakan amanah Tuhan yang hanya mampu dilakukan oleh manusia, sedang makhluk Tuhan yang lain tidak mampu untuk mengembannya (Q.S. al-Ahzab: 72). Dan tingkat kemampuan manusia mengemban amanah inilah yang kemudian menentukan derajatnya di mata Allah (Q.S. al-An’am: 165).
Manusia baru dikatakan berhasil dalam hubunganya dengan Allah apabila kedua fungsi ini berjalan secara seimbang. Pemaknaan seimbang di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat, puasa,dan haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan. Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita saja, tetapi juga bagi orang lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar kita.

  1. Hablun min al-Nas (Hubungan antar sesama manusia)

Pada hakikatnya manusia itu sama dan setara di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan dan keutamaan di antara satu dengan lainnya. Begitu pula tidak dibenarkan adanya anggapan bahwa laki-laki lebih mulia dari perempuan, karena yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan (Q.S. al-Hujurat: 13) keimanan, dan keilmuawannya (Q.S. al-Mujadalah: 11).

Manusia hidup di dunia ini juga tidak sendirian tetapi dalam sebuah komunitas bernama masyarakat dan negara. Dalam hidup yang demikian, kesadaran keimanan memegang peranan penting untuk menentukan cara kita memandang hidup dan memberi makna padanya. Maka yang diperlukan pertama kali adalah bagaimana kita membina kerukunan dengan sesama Umat Islam (ukhuwah Islamiyyah) untuk membangun persaudaraan yang kekal hingga hari akhir nanti (Q.S. al-Hujurat: 11).

Namun kita hidup dalam sebuah negara yang plural dan beraneka ragam. Di Indonesia ini kita hidup bersama umat Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan, dan kelompok keyakinan lainnya. Belum lagi bahwa kita pun berbeda-beda suku, bahasa, adat istiadat, dan ras. Maka juga diperlukan kesadaran kebangsaan yang mempersatukan kita bersama dalam sebuah kesatuan cita-cita menuju kemanusiaan yang adil dan beradab (ukhuwah wathaniyah). Keadilan inilah yang harus kita perjuangkan (Q.S. al-Maidah: 8). Dan untuk mengatur itu semua dibutuhkan sistem pemerintahan yang representatif dan mampu melaksanakan kehendak dan kepentingan rakyat dengan jujur dan amanah. Pemimpin yang sesuai dengan nilai ini, peraturannya harus kita taati selama tidak bertentangan dengan perintah agama (Q.S. al-Nisa: 5). Dan untuk pelaksanaannya kita harus selalu menjunjung tinggi nilai musyawarah yang merupakan elemen terpenting demokrasi (Q.S. Ali Imran: 199).

Namun itu saja belum cukup. Kita hidup di dunia ini berdampingan dan selalu berhubungan dengan negara-negara tetangga. Maka kita juga harus memperhatikan adanya nilai-nilai humanisme universal (ukhuwah bAsy’ariyah), yang mengikat seluruh umat manusia dalam satu ikatan kokoh bernama keadilan. Meskipun kita berbeda keyakinan dan bangsa, tidak dibenarkan kita bertindak sewenang-wenang dan menyakiti sesama. Biarkan mereka dengan keyakinan mereka selama mereka tidak mengganggu keyakinan kita (Q.S. al-Kafirun: 1-6). Persaudaraan kekal inilah sebagai perwujudan dari posisi manusia sebagai khalifah yang wajib memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bumi manusia ini.

  1. Hablun min al-Alam (Hubungan manusia dengan alam)

Manusia yang diberi anugerah cipta, rasa, dan karsa, yang merupakan syarat sahnya sebagai khalifah diberi wewenang dan hak untuk memanfaatkan alam bagi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan ini tidak boleh berlebih-lebihan apalagi merusak ekosistem. Hak ini dinamakan sebagai hak isti’mar, yaitu hak untuk mengolah sumber daya alam untuk kemakmuran makhluk hidup tetapi pengelolaan itu harus didasarkan pada rasa tanggung jawab: tanggung jawab kepada kemanusiaan, karena rusaknya alam akan berakibat bencana dan malapetaka bagi kahidupan kita semua, begitu pula tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan hak dan tanggung jawab itu. (Q.S. Hud: 61).

Selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup, alam atau ekologi juga merupakan ayat Tuhan yang harus dipahami sebagaimana kita memahami al-quran. Dari pemahaman itulah akan terwujud keimanan yang mantap kepada Tuhan dan kemantapan diri sebagai manusia yang harus menyebarkan c kedamaian di muka bumi. Dari pemahaman inilah akan terbentuk suatu gambaran menyeluruh terhadap alam, bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan maksud-maksud tertentu yang harus kita cari dan teliti. Pencarian makna alam inilah yang melandasi setiap kegiatan penelitian ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan. Maka tidak ada dikotomi dan pertentangan antara ilmu daan wahyu, antara IPTEK dan agama, karena pada hakikatnya keduanya akan mengantarkan kita kepada keyakinan akan keagungan Tuhan (Q.S. 190-191).

Tauhid

Maka dengan menyeimbangkan ketiga pola hubungan di atas kita akan mencapai totalitas penghambaan (tauhid) kepada Allah. Totalitas yang akan menjadi semangat dan ruh bagi kita dalam mewarnai hidup ini, tidak semata-mata dengan pertimbangan Ketuhanan belaka, tetapi dengan pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Bahwa tauhid yang kita maksudkan bukan sekadar teisme transcendental an-sich, tetapi antrophomorfisme transendental, Nilai-nilai ketuhanan yang bersatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Totalitas tauhid inilah yang akan memandu jalan kita dalam mencapai tujuan gerakan membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.

Khatimah

Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII perlu selalu dikaji secara kritis, dipahami secara mendalam dan dihayati secara teguh serta diwujudkan secara bijaksana. Dengan NDP ini hendak diwujudkan pribadi muslim yang bertakwa-berilmu-beramal, yaitu pribadi yang sadar akan kedudukan dan perannya sebagai intelektual muslim berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah di negara Indonesia yang maju, manusiawi, adil, penuh rahmat dan berketuhanan serta merdeka sepenuhnya.

Rabbana ‘alaika tawakkalna wa ilaika anabna wa ilaika al-mashir.

GENEOLOGI DAN KEORGANISASIAN

Posted: Februari 12, 2013 in Uncategorized

GENEOLOGI DAN KEORGANISASIAN

 

Cikal Bakal dan Proses Kelahiran PMII

Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilatarbelakangi oleh kemauan keras para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk wadah organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusunnah Wal-jamaah. Hal ini tidak terlepas dari eksistensi IPNU-IPPNU, karena secara historisitas PMII merupakan mata rantai dari departemen perguruan tinggi IPNU yang dibentuk pada muktamar III IPNU di Cirebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Wacana mendirikan wadah yang dapat mengakomodir kebutuhan mahasiswa Nahdliyin sudah ada ketika muktamar II IPNU di Pekalongan tetapi karena keberadaan IPNU dirasa masih sangat muda yang berdiri pada tahun 1954, wacana itu tak terlalu ditanggapi dengan serius. Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri, mereka terus berjuang untuk mewujudkannya.

Puncak perjuangan untuk mendirikan organisasi mahasiswa Nahdliyin ini adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang, Yogyakarta, pada tanggal 14-17 Maret 1960. sehingga, akhirnya dibentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada tanggal 14-16 April 1960, satu bulan kemudian setelah keputusan di Kaliurang. Adapun ke-13 orang personal tersebut (pendiri organisasi PMII) adalah :

  1. Cholid Mawardi (Jakarta)
  2. Sa’id Budairy (Jakarta)
  3. M. Shobic Ubaid (Jakarta)
  4. M. Makmun Syukri BA (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. H. Ismail Makky (Yogyakarta)
  7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suady (Surakarta)
  9. Laili Mansur (Surakarta)
  10. Abd. Wahab Jailani (Semarang)
  11. Hisbullah Huda (Surabaya)
  12. M. Cholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Husain (Makasar)

Dalam musyawarah di kota pahlawan ini banyak tawaran nama yang dilontarkan untuk nama organisasi ini, yakni  IMANU (ikatan mahasiswa Nahdlotul Ulama) usulan delegasi dari Jakarta, Persatuan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari Bandung dan Surabaya. Dari ketiga usulan tersebut, PMII-lah yang disetujui oleh forum sebagai nama organisasi, tepat pada tanggal, 17 April 1960 (21 Syawal 1379 H) yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran PMII.

Semenjak kelahirannya, PMII secara struktural masih merupakan underbow NU. Karena kondisi sosial politik pada waktu itu, patronase gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik, sehingga kehadiran PMII nampaknya lebih dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU pada waktu itu.Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “PERGERAKAN”. Makna kata tersebut bagi PMII melambangkan dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Adalah, bahwa mahasiswa merupakan insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ke-Tuhanan dan kemanusiaan, agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ardh.

Dalam konteks individual, komunitas, maupun organisasi, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang lebih baik sebagai perwujudan tanggung jawab memberikan rahmat pada lingkungannya. Term “MAHASISWA” yang terkandung dalam PMII menunjuk pada golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas. Di samping itu, mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, insan akademik, insan sosial dan insan mandiri. Kata “ISLAM” adalah Islam sebagai agama pembebas atas ketimpangan sistem yang ada terhadap fenomena realitas sosial dengan paradigma Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang melihat ajaran agama Islam dengan konsep pendekatan yang proporsional antara Iman, Islam dan Ihsan. Hal ini tercermin dalam pola pikir dan perilaku yang selektif, akomodatif dan integratif.Sedangkan makna dari kata “INDONESIA” adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah, ideologi bangsa (Pancasila) dan UUD ‘45 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran berwawasan nusantara.

Reformulasi dan Reorientasi Gerakan PMIIPada awal gerakannya, PMII merupakan gerakan underbow NU baik secara struktural maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik masih panas. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya menyokong dan mendukung kemenangan sebuah partai. Oleh karena itu, gerakan PMII masih cenderung berbau politik praksis. Hal terjadi hingga tahun 1972.Keterlibatan PMII dalam dunia politik praksis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 berakibat fatal dan terjadi kemunduran dalam segala aspek gerakannya. Beberapa cabang PMII di daerah pun mendapat imbas buruknya. Kondisi ini membawa pada penyadaran untuk mengkaji ulang orientasi gerakan selama ini, khususnya keterlibatan dalam dunia politik praksis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar tanggal 14-16 juli 1972, PMII mencetuskan Deklarasi Independen di Munarjati, Lawang, Malang Jawa Timur. Deklarasi ini kemudian dikenal Deklarasi MUNARJATI.

Sejak saat itu, PMII secara formal-struktural terpisah dari NU dan membuka akses sebesar-besarnya bagi PMII sebagai organisasi independen tanpa harus berpihak kepada Parpol apapun. Independensi gerakan ini terus dipertahankan dan kemudian dipertegas  dalam “Penegasan Cibogo” pada tanggal, 8 Oktober 1989. Bentuk independensi merupakan respon terhadap pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam, yakni Aswaja.Reformulasi gerakan PMII kemudian dilakukan pada kongres X PMII pada tanggal, 27 oktober 1991, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Pada kongres tersebut, keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU melahirkan pernyataan “Deklarasi Interdependensi PMII NU”.

Penegasan hubungan tersebut didasarkan pada pemikiran :

  1. Adanya ikatan historisitas yang sangat erat mempertautkan PMII dan NU. Keorganisasian PMII yang independen hendaknya tidak dipahami secara sempit sebagai upaya untuk mengurangi atau menghapus arti ikatan historisitas tersebut.
  2. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU, keutuhan komitmen ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia. 

Menata Gerakan PMII Perubahan-perubahan dalam sistem politik nasional pada akhirnya membawa dampak pada bentuk dinamika ormas-ormas, dan organ mahasiswa termasuk PMII. Sikap kritis dibutuhkan untuk mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of sosial change

Pada era 1980-an PMII melakukan advokasi terhadap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan  dan corak gerakan. Ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan PMII di sektor kebangsaan :

  1. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal
  2. Kembalinya NU ke Khittah 1926, pada tahun 1984.

Ketika itu PMII mampu memposisikan perannya yang cukup strategis, karena :

  1. PMII memberikan prioritas terhadap pengembangan intelektualitas.
  2. PMII menghindari politik praksis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil societyc.
  3. PMII mengembangkan sikap dan paradigma kritis terhadap negaraPada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposissi gerakan yang akhirnya menghasilkan rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP).

Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan kegiatan-kegiatan diskursif terkait dengan isu-isu penting, seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritik dan post modernisme.Seiring naiknya Gus Dur menjadi presiden keempat di Indonesia, secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan, apakah gerakan civil society harus berakhir ketika Gus Dur sebagai presiden, yang selama ini menjadi tokoh dan simpul perjuangan civil society naik ke tampuk kekuasaan. Dan ketika Gus Dur di jatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian digantikan dengan Paradigma Kritis Transformatif.

Bagaimana Kita sebagai Kader PMII harus Bersikap ? Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita, sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII khususnya untuk terus berpikir kritis terhadap setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menindas. Begitupun secara mikro kebijakan yang ada di kampus kita, kampus kuning, kampus rakyat, kampus perlawanan, Universitas Serang Raya. Yang kedua, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan ke arah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas sosial yang ada. Landasan filosofis PMII adalah Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang berisi tentang Tauhid, Hablun Minallah (hubungan dengan Allah), Hablun min Naas (hubungan dengan manusia), Hablun minal Alam (hubungan dengan alam). Landasan berpikir PMII adalah ASWAJA (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang di dalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan/proporsional), tawassutyh (moderat), taaddul (keadilan) yang dijadikan sebagai manhajul fikr (metodologi berfikir) dan sebagi instrumen perubahan.

Landasan paradigmatiknya adalah paradigma kritis transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan pada semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dijadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII.Visi dan misi besar PMII harus tetap kita kawal yang nantinya menuju pada terbebasnya massa rakyat pekerja dan terciptanya tatanan masyarakat yang adil, makmur sepenuhnya. Kutunggu kalian di garis PERLAWANAN !!!!!!!.Image

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)

Posted: Februari 12, 2013 in Uncategorized

Image

  1. A.    Historisitas Aswaja
  2. 1.      Aswaja dalam Geo-sospol (Genealogi Sosial Politik) Global

Perjalanan Aswaja dalam kurun waktu sejarah peradaban masyarakat Muslim tidak selamanya mulus. Meskipun dirinya hadir sebagai pemahaman ke-Islam-an yang dianggap paling sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi serta para sahabat. Secara singkat, kita akan melihatnya dalam tabel berikut, No Masa Periode Momen Sejarah :

Tahap Pertama

  • Abu Bakar, di dalam wilayah kekuasaannya, Abu Bakar berhasil menyatukan umat Islam, setelah menumpas gerakan Nabi palsu dan kaum murtad. Dalam hubungan ke luar, penyerangan terhadap basis-basis penting Romawi dan Persia dimulai.
  • Umar Bin Khattab, tata Pemerintahan di Madinah dibakukan berdasarkan asas syura – Persia berhasil ditaklukkan – Romawi diusir dari tanah arab – terjadi pengkotakan antara Arab dan non-Arab – wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara.
  • Utsman bin Affan, Al-quran dikodifikasi dalam mushaf Utsmani – embrio perpecahan mulai tampak – pemerintahan labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim dibangun.
  • Ali bin Abi Thalib, perang Jamal – Pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi tiga kelompok besar: Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Abdullah bin Umar mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamatan sunnah – Akhir dari sistem Syura.

 

Tahap Kedua

  • Kemajuan Islam Bani Umayyah, Meneruskan Kekhalifahan sebagai lembaga politik. Abdullah bin Umar berkoalisi dengan penguasa bani umayah. Kembalinya pemerintahan klan atau dinasti – Islam mencapai Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab teologis bermunculan; terutama Qadariyah, Jabariyah, Murjiah moderat, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah – Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah: sebagai pendiri teologi Asy’ariyah). Embrio munculnya mazhab-mazhab.
  • Bani Abbasiyah, Mu’tazilah menjadi ideology Negara – Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad bin Hanbal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al-Junaid dan Al-Ghazali – Terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika pemikiran – pembakuan mazhab-mazhab oleh para pengikutnya-Perang salib dimulai – Kehancuaran Baghdad oleh Mongol menjadi awal menyebarnya umat beraliran Aswaja sampai ke wilayah Nusantara.
  • Umayyah Spanyol, Aswaja menjadi madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa – Aswaja berdialektika dengan filsafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu ‘Arabi. Aswaja Runtuh spanyol ikut Eropa.

 

Tahap Ketiga

  • Kemunduran Islam Turki Utsmani, Aswaja menjadi ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah terhadap mazhab yang dipegangi pengikutnya – ilmu keIslaman mengkrcut menjadi 3 yaitu fiqih, teologi, tasawuf- sedangkan yang lainya hanya penopang seperti, ilmu bahasa, hadits & ulum alqur’an. Romawi berhasil diruntuhkan – perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam – kekuatan Syi’ah (Safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri kokoh di India.
  • Kolonialisme Eropa, Masuknya paham sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja menjadi basis perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan-kekuatan umat Islam kembali terkonsolidir.

 

Tahap Keempat

Kebangkitan Islam Akhir Turki Utsmani

Lahirnya Turki muda yang membawa misi restrukturisasi dan reinterpretasi Aswaja – gerakan Wahabi lahir di Arabia – kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika utara – Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat – Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme (nation-state) – Aswaja tidak lagi menjadi ideology Negara. Pasca PD II Aswaja sebagai madzhab ke-Islam-an paling dominan – diikuti usaha-usaha kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim – lahirnya negara Muslim Pakistan yang berhaluan aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI namun hanya bersifat simbolik belaka.

Catatan ringan :

Sebagaimana dicatat oleh para sejarawan muslim paling awal, bahwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata menimbulkan protes keras dari Mu’awiyah Ibn Abu Sufyan, salah seorang gubernur Damaskus yang terhitung masih kerabat Utsman. Protes kedua dilancarkan oleh “trio”, Aisyah, Thalhah dan Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggungjawab atas tumpahnya darah Ustman. Gerakan oposisi dua kelompok di atas pada gilirannya pecah menjadi perang terbuka. Yang pertama pecah dalam perang siffin, sedangkan yang kedua meledak dalam perang jamal.

Dalam perang siffin, pasukan Mu’awiyah dalam kondisi terjepit. Dan, guna menghindarkan diri dari kekalahan, mereka lantas mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan melalui jalur arbitrase (perundingan). Strategi ini ternyata sangat menguntungkan posisi Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah konsentrasi pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian terbagi menjadi dua kelompok, disatu pihak setuju untuk menerima arbitrase (Syiah), sementara dipihak lainnya menolak dan menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang menang dan yang kalah (Khawarij). Apalagi ketika diketahui bahwa dalam arbitrase pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa Al-’Asy’ari secara “politis” kalah dalam berdiplomasi melawan kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amru bin ‘Ash, semakin mengeraskan tekad kelompok yang kontra perundingan untuk keluar dari barisan Ali.

Berdasarkan deskripsi historis tersebut dalam periode ini telah muncul partai; Ali (Syiah), Mu’awiyah dan Khawarij. Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis tersebut, akhirnya melahirkan trauma yang mendalam bagi sebagian umat Muslim. Sikap trauma tersebut kemudian menjurus pada kenetralan, khususnya bagi warga Madinah-yang dipelopori Abdullah bin Umar. Mereka mendalami al-qur’an dan memperhatikan serta mempertahankan tradisi (al-Sunnah) penduduk madinah. Sehingga dalam hal ijtihad agama kaum netralis ini bersatu dengan Syiah yang terkenal sangat hati-hati dalam menjaga Sunnah. Namun dalam hal politik kaum netralis melakukan oposisi diantara muawiyah dan syiah.

Namun kaum netralis ini ternyata dalam perjalannya bergabung dengan Umayyah, meskipun juga sering melakukan oposisi dengan rezim damaskus. Pada tahap inilah – proses penyatuan golongan al-jamah (pendukung muawiyah) dengan al-sunnah (netralis madinah) – yang kelak akan melahirkan golongan yang dinamakan Aswaja. Karena persoalan inilah sehingga syiah keluar dari kaum netralis sebagai komitmen mereka untuk tetep berpegang teguh terhadap Sunnah dan melakukan gerakan oposisi yang melakukan perlawanan terhadap rezim Damaskus dan menganggap oportunis terhadap kaum netralis.

Persoalan semakin kabur manakala mencari identitas aswaja itu melalui wilayah teologi. Dilihat dari aspek teologi paham aswaja dikonotasikan dengan Asy’ari dan Maturidi. Sedangkan teologi mu’tazilah dan yang lainnya dipandang sebagai di luar paham aswaja. Lebih jauh lagi, jika suatu identitas diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk mengatakan teologi mu’tazilah bukan teologi Aswaja. Mengapa? Tidak sulit untuk memberikan argumen bahwa kebanyakan tokoh mu’tazilah adalah pengikut setia dari salah satu mazhab fiqih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Semisal Abu Jabar yang dalam fiqhnya mengikuti Syafi’i. Data ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa para penguasa Abbasiyah mayoritas saat itu juga mengikuti salah satu mazhab fiqh aswaja.

Asy’ari sendiri pada mulanya adalah kader mu’tazilah, karena kekecewaannya terhadap posisi mu’tazilah yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan saat itu serta dipandang telah menjadi kelompok akademisi teolog yang mengasingkan diri dari tekanan dan ketegangan waktu, juga cenderung elitis. Pikiran-pikiran Yunani yang dipergunakan sudah meyimpang jauh dari agama masyarakat awam, sehingga sulit diterima masyarakat awam.

Ketegangan pemikiran atau lebih tepatnya dialektika pemikiran jelas tidak mungkin dihindari. Namun sejarah mencatat bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada pertentangan justu terjadi antara ahlul hadis (dipelopori Hambali dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah selanjutnya oleh Abdul Wahab) dan ahli teolog (mu’tazilah, Asy’ariyah dan maturidiyah). Bertolak dari argumen ini ada kemungkinan bahwa paham aswaja teutama dalam lapangan teologi terjadi polarisasi. Di satu sisi mincul; pemikran yang cenderung rasionalis, seperti mu’tazilah. Namun pada saat yang sama muncul pemikiran yang ingin menyapu bersih kecendrungan rasionalistik. Kelompok kedua sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari. Apapun pertentangan yang muncul, kenyataan menunjukkan bahwa kelompok moderatlah yang lolos seleksi. Akhirnya kelompok rasional terpaksa minggir sebelum kemudian redup dan muncul lagi di era Muhammad Abduh (neo-mu’tazilah).

Kemudian teologi Asy’ari ini dikembangkan oleh filusuf sekaligus sufistik al-Ghazali yang cenderung kurang rasional dan tidak terlalu monolok terhadap hadis dengan sikapnya yang sufi yang cenderung menggunakan rasa dalam menyikapi dialektika keagamaan. Dan dari tangan hujjatul muslimin inilah paham-paham tersebut menyebar ke se antero dunia sampai sekarang.

Berdasarkan historis sederhana ini dapat tarik sebuah kesimpulan, bahwa secara garis besar pasca terjadinya perang siffin umat muslim terpecah sehingga masing-masing membuat madzhab yang pada akhirnya mazhab-mazhab ini dikembangkan, diformulasikan dan dibakukan oleh para kader madzhab. Dengan pembakuan-pembakuan tersebutlah, selanjutnya konsep Islam disandarkan. Adapun formulasi itu dibagi menjadi tiga yaitu teologi, fiqih dan tasawuf. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain dianggap turunannya sehingga dalam wilayah metodologi selalu mengakar dan bisa dikembalikan kepada ketiga ilmu tersebut terutama pada teologi.

 

  1. 2.      Aswaja dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)

Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam di nusantara. Memang banyak perdebatan tentang awal kedatangan Islam di Indonesia, ada yang berpendapat abad ke-8, ke-11, dan ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal. Pertama, Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13. Kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa saja tetapi menggurita ke seluruh pelosok nusantara. Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarahwan sepakat bahwa Wali Sanga-lah yang dengan cukup brilian mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai saat ini menjadi basis bagi golongan tradisionalis, termasuk PMII. Sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap mazhab-mazhab yang telah diformulasikan pada zaman Abbasiyah. Yaitu; “Dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”

No Periode Momen Sejarah :

  1. Islam awal Pra-Wali Sanga.

Masyarakat Muslim bercorak maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir – mendapat hak istimewa dari kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil – fleksibilitas politik – dakwah dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.

  1. Wali Sanga Konsolidasi kekuatan pedagang muslim membentuk konsorsium bersama.

Membidani berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara – mazhab fiqh mengkrucut syafi’i-sistem kasta secara bertahap dihapus – Islamisasi dengan media kebudayaan – Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya lokal bercorak Hindu-Budha – Usaha mengusir Portugis gagal.

  1. Pasca-Walisanga – Kolonialisme Eropa

Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis, Kekuatan Islam masuk ke pedalaman, kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik, mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru, kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feudal, kekuatan orisinil aswaja hadir dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan. Arus Pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui kaum Padri. Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka. Kekuatan Islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.

  1. Kelahiran NU

Komite Hijaz sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham Wahabinya sebagai motivasi, SI tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisionalis dikonsolidir dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanun Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.

  1. NU_pra kemerdekaan NU sebagai salah ORMAS Islam yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara. Dan menganggap Indonesia sebagai dar sulh (Negara damai).
  2. NU_pasca kemerdekaan

NU memberi gelar waliyul amri dharury kapada rezim Sukarno. NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom, PMII lahir sebagai underbouw di wilayah mahasiswa, di barisan terdepan pemberantasan PKI, ikut membidani berdirinya orde baru, ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971, Deklarasi Munarjati menandai independennya PMII, NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977, tumbuhnya kesadaaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya khittah.

  1. NU pasca Khittah

NU kembali menjadi organisasi kemasyarakatan, menerima Pancasila sebagai asas tunggal, menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia, posisi vis a vis Negara, bergabung dalam aliansi nasional memulai reformasi menjatuhkan rezim orba.

  1. NU_pasca reformasi Berdirinya PKB sebagai wadah politik nahdliyyin.

Gus Dur sebagai presiden, NU mengalami kegamangan orientasi, kekuatan civil society mulai goyah, PMII memulai tahap baru interdependensi. (Pasca Gusdur sampai sekarang, kekuatan tradisionalis terkotak-kotak oleh kepentingan politis).

 

 

  1. B.     Normatifitas Aswaja dalam Pemahaman PMII
  2. 1.      Pergeseran makna Aswaja

Dalam konteks keindonesiaan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) ibarat dua sisi mata uang. Ketika menyebut NU dalam konsep kita akan terbayang imam-imam besar sebagaimana dirumuskan oleh faunding father Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi . Yaitu : “Dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”

Ada dua pola pemahaman kaum Muslimin terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Pertama, yang memahami Aswaja identik dengan Islam dengan doktrin pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Kedua, yang mamahami Aswaja sebagai “mazhab” saja. Baik pola pertama maupun kedua masing-masing mampunyai kelemahan. Yang pertama seringkali mengklain bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya, sehingga kesan sektarianisme sulit dihindarkan. Pada level praksisnya, pengkafiran (takfir) menjadi bagian tidak terpisahkan dalam relasinya dengan non-muslim maupun dengan umat Islam tapi yang tidak satu aliran sehingga bentuk kekerasan menjadi mudah dilakukan atas dasar teks agama.

Pola mazhab juga mempunyai kecenderungan untuk menjadi institusi, dan karenanya ia menjadi kaku (jumud), karena mazhab mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan akhirnya itu semua menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan. Di pola nomer dua inilah mayoritas masyarakat NU memahaminya, bahkan rumusan definitif Aswaja tersebut dalam perkembangannya hanya dipahami dalam konteks “berfikih” dan mengikuti apa saja yang telah dihasilkan para ulama terdahulu (taklid). Lebih jauh, pada dataran praksisnya Aswaja mengkrucut lagi menjadi mazhab fiqih syafi’i saja dan menempatkan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” yakni menundukkan realitas dengan fikih. Menyadari realitas yang demikian itu, maka Aswaja haruslah dipahami dan direfleksikan kembali ke dalam konteks aslinya, yang sesungguhnya sangat kritis, eklektik dan analitis.

Memang tiga pola panutan Qanun Asasi ini dalam prakteknya tidaklah sederhana dan cenderung problematis. Apalagi ketika dirunut sejarah masing-masing ajaran disertai dengan varian-varian pemikiran para pengikutnya, semakin jelas terjadi kompeksitas gagasan bahkan terjadi pemilahan pada dua kutub yang saling berseberangan. Realitas sejarah pemikiran beserta varian-varian mazhab yang tersebut di atas, membawa kita untuk berkesimpulan bahwa Aswaja bukanlah sebuah doktrin yang kaku, baku dan linear. Banyak sekali persoalan di dalamnya. Sehingga dalam memahami Aswaja tidaklah cukup hanya pada produk pemikiran (mazhab) atau perkataan (qauli yang terdokumentasi dalam karya-karya) dari para mazhab-mazhab di atas, akan tetapi juga metode (manhaj) berpikir mereka dalam menyusun pemikirannya yang disesuaikan dengan konteks yang mereka hadapi. Maka qoul-qoul mazhab terutama dalam kajian fiqih yang sudah terbukukan jika dalam konteks sekarang tidak relevan -bukan berarti salah- maka harus diinterpretasi ulang dan mengembalikannya ke Al-qur’an dan sunnah. Kemudian dari teks agama ini digali hukum-hukum baru dengan menggunakan metodologi imam mazhab tersebut (mazhab minhaj). Agar sesuai dengan keadaan sosial sekarang.

Ada empat ciri yang menonjol dalam memaknai aswaja sebagai mazhab minhaj ini. Pertama, fiqih dihadirkan sebagai etika dan interpretasi sosial bukan sebagai hukum positif mazhab. Kedua, dalam hal metodologi mazhab tersebut di dalamnya sudah mulai diperkenalkan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial budaya. Ketiga, verifikasi terhadap mana ajaran pokok (usul) dan mana cabang (furu’). Keempat, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam kajian teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru.

Dengan model bermazhab seperti ini diharapkan dapat memberikan spirit baru untuk keluar dari “tempurung sakral” masa lampau dan berani memunculkan pikiran-pikiran eksprementatif sosial yang kreatif dan orisinil. Dalam konteks ini kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan dan diletakkan dalam kerangka kooperatif, namun karya tersebut jangan sampai menjadi belenggu pemikiran yang mematikan. Sehingga jalan masuk untuk melakukan terobosan baru dalam setting tranformasi sosial, ekonomi politik maupun budaya menjadi lebar.

Peletakan fiqih seperti ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena mazhab yang dianut masyarakat NU adalah mazhab Syafi’i. Kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya empat mazhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis dilakukan secara eklektik karena ada rambu-rambu talfiq metodologi yang tidak mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kiai sepuh yang notabennya menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dlihat dari adanya bahsul masa’il yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikaran segar agar selalu menyesuaikan zaman.

Dan seiring berkembangnya zaman mazhab minhaj inipun dirasakan kurang menyentuh realitas. Lagi-lagi, realitas harus dijustifikasi dengan metodologi agama yang sebatas pada ketiga pola qanun asasi yaitu fiqih, teologi dan tasawuf, terutama dalam aspek fiqihnya. Pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang dalam konsep metodologi menjadi beku dan tidak bisa diotak-atik lagi. Pemaknaannya hanya dibatasi pada metodologi ulama klasik saja. karena secanggih apapun metodologi, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang dihadapinya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai metodologi yang terbuka. Oleh karena itu, lagi-lagi interpretasi ulang terhadap konsep mazhab manhaj harus dilakukan.

Lebih jauh, implikasi yang dihasilkan dalam tatanan pola fikir dan pranata sosial yang dihadirkan dalam kehidupan orang-orang NU dianggap terlalu kaku sehingga kurang responsive terhadap tantangan dan tuntuan perkembangan zaman. Khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan hudud, hak asasi manusia, hukum public, jender dan pandangan dengan non-muslim. Meski manhaj madhab telah dilakukan tetapi tetap saja rumusan Qonun Asasi khususnya fiqih tidak berani mendekati kecuali ulama-ulama yang dianggap mumpuni.

Tegasnya, manhaz mazhab yang bertumpu pada keilmuan fikih yang berimplikasi pada cara pandang dan tatanan paranata sosial dalam masyarakat NU belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di dataran Eropa yang notabennya non-muslim, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan lain sebagainya. Bahkan dari yang sesama muslim yang dianggap tidak satu mazhab seperti, mu’tazilah wahabi, syiah, khawarij, dll. maupun para pemikir Islam kiri seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh, Muhammad Arkun, Fazlurrahman, dll. masyarakat NU masih sangat eksklusif.

Maka ketebukaan terhadap kemungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi pemikiran keilmuan Manhaj madhab dengan keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanistic harus lakukan. Sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang berdimensi kemanusian yang tidak melulu berporos pada fiqih yang cendrung transdental an sich. Ketika pola ijtihad tersebut bertemu dan berdialog maka teori, metode, dan pendekatan yang digunakan pun perlu dirubah. Jadi dalam rumusan fiqih dan kaidah usul fiqh dilakukan infilterisasi yang ketat sejauh mana ia sesuai dengan konteks zaman dan tidak bertentangan dengan paradigma gerakan dan pembaharuan yang progresif.

 

  1. 2.      Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Manhaj At-Taghayyur al-Ijtima’i

Dari sinilah maka kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj tagayyur al ijtima;i yaitu pola perubahan yang berdimensi sosial-kemasyarakatan-kemanusiaan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya sampai diera kontemporer. Yang mana metode ini tidak hanya tetumpu pada aspek fiqih dan usul fikih saja, namun memodifikasikannya dengan keilmuan yang lain baik itu datangnya dari para pemikir muslim ataupun non-muslim dengan tetap mempertahankan dimensi historisitas dari keilmuan fiqih dan juga barang tentu teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad tahun yang lalu untuk diajarkan terus menerus pada era sekarang setelah permasalahan zaman terus berevolusi.

Kemudian, rangkaian histories-empiris-fleksibilitas epistemologi dan metodologi yang sesuai situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu., mulai dari Rasulullah sampai manhaj at-taghayyur al-ijtima’I yang terbingkai dalam landasan (al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) dan toleran (al-Tasamuh). itulah yang oleh PMII dimaknai Aswaja sebagai manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu.

Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keIslaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, dan barang tentu juga ilmu-ilmu sosial humaniora walaupun beraneka ragam tetap berada dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhajul fikr maupun manhaj taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya.

Jadi, Benang merah yang bisa ditarik dari manhaj al-fikr para Imam dan pemikir tersebut adalah sebuah metode berfikir yang “eklektik” (mencoba mencari titik temu dari sekian perbedaan dengan pembacaan jeli, sampai melahirkan tawaran alternatif). Dan posisi pemikiran mereka dalam dialektika pemikiran dan kuasa maknanya baik kebebasan berpikir, berucap, bertindak/bersikap, berhubungan, barmasyarakat, berberbangsa dan bernegara selalu terbingkai dalam landasan; (al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) amarma’ruf nahi munkar, istiqamah dan toleran (al-Tasamuh).

Argumen ini kemudian menjadi dasar pijak untuk tidak terlalu mempersoalkan apakah yang diadopsi itu barasal dari epistemologi yang berlatang belakang sebagaimana Qonun Asasi atau dari luar Qanun Asai tersebut, seperti mu’tazilah, khawarij, syiah dan lain-lainnya. Bahkan barang tentu metode ilmu-ilmu sosial humanistic yang datang dari barat. Yang dalam hal ini focus utamanya adalah sejauh mana metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan secara nyata dan memberi manfaat kapada umat manusia secara universal.

 

  1. 3.      Landasan (bingkai) dan prinsip dasar Aswaja Dalam Arus Sejarah
  2. Tawassuth

Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara menggali&meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam maupun barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.

  1. Tasamuh

Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh direalisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita.

Dalam kehidupan bermasyarakat, tasamuh mewujud dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati. Di berbagai wilayah, tasamuh juga hadir sebagai usaha menjadikan perbedaan Agama, Negara, ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagai élan dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi Unity in diversity.

  1. Tawazun

Tawazun berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.

  1. Ta’adul

Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan landasan ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial. Yaitu landasani kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.

Keempat landasan tersebut dalam prosesnya harus berjalan bersamaan dan tidak boleh ada dari satupun bingkai ini tertinggal. Karena jika yang satu tidak ada maka Aswaja sebagai MAnhaj fikr akan pincang.

  1. 4.      Implementasi Landasan Aswaja dalam konteks Gerakan

Aswaja sebagai manhaj fikr dan manhaj taghayyur al-ijtima’ bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :

  • Basis epistemologi, yaitu cara berfikir yang sesuai dengan kebenaran qur’ani dan sunnah nabi yang diimplementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen oleh para pemikir dalam historisitas asawaja yang terbingkai dalam enam poin tersebut.
  • Basis realitas, yaitu Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas serta keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.

Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan aswaja, termasuk di dalamnya PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatik. Maka empat landasan yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori sosial dan ideologi-ideologi dunia.

Tawassuth harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.

Walaupun dalam kerangka konseptual Aswaja menekan pandangan yang sangat moderat, itu tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai sikap sok bijak dan mencari selamat serta cenderung oportunis. Tetap ada prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam Aswaja.

Catatan Akhir :

Berdasarkan uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja sebagia manhajul fikr dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan datang.

Bahkan sampai sekarang, metodologi tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika Aswaja sebagai manhaj mazhab, disini metolodogi sangat jelas yakni berdasarkan metodologi yang disusun oleh para Imam Mazhab (Qonun Asasi) semisal kaidah uul fiqh dan Qiyasnya Syafi;I, istihsanya maliki, masalaha mursalah, dll. Sedangkan paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski dalam perjalanannya dianggap tidak relevan.

Maka menjadi tugas kita bersamalah untuk membuat satu tawaran alternatif metodologi baru bagi ruh perjuangan PMII yang mampu mengkombinasikan antara barat dan timur yang sesuai dengan konteks Masyarakat Indonesia pada khusunya dan Umat muslim pada umumnya. Yang pada gilirannya Para kader PMII khusunya di Jogjakarta tidak kebingungan dalam hal metodologi baik dalam menafsirkan teks maupun membaca realitas dengan komitmen sosial yang tinggi. Wallahu a’lam wi al-shawab.